Pengolahan Sampah di Kota Kitakyushu
Kitakyushu Science and Research Park
Alangkah indahnya ketika kita memasuki sebuah kota yang hijau nan asri. Burung-burung yang berkicau seolah-olah menyambut kita. Mereka terbang dari satu pohon ke pohon lainnya menyisakan senandung dan gemerisik gesekan dedaunan. Air sungai yang terbebas dari limbah pabrik maupun limbah rumah tangga sehingga tampak jernih mampu memanjakan mata.
Suasana seperti itu bisa dilihat dan
dirasakan di salah satu kota industri di Jepang, Kitakyushu, yang terletak di
pulau Kyushu, Fukuoka.
Berbeda dengan image kota
industri yang pekat oleh polusi, langit di wilayah ini nampak masih biru cerah.
Udaranya bersih, seakan tidak ada mesin pabrik yang berproduksi.
Padahal di kota tersebut ada pabrik baja yang
cukup besar, Yahata Steel, yang merupakan afiliasi dari produsen terbesar baja
di Jepang, Nippon Steel, di samping industri berat lainnya. Dulu tahun 1960-an, Kitakyushu sama dengan
kota industri lainnya. Langitnya abu-abu, tapi kini setelah lebih dari 40 tahun
sudah biru" kata Walikota Kitakyushu, Kenji Kitahashi, saat menerima
kunjungan kerja panitia perayaan hubungan Indonesia-Jepang ke-55.
Ia memampang foto perubahan salah satu sudut
pelabuhan di kota itu, Dokay Bay, pada 1960-an dengan cerobong pabrik yang
mengeluarkan asap hitam ke udara sehingga langit menjadi abu-abu dan foto di
lokasi yang sama yang diambil tahun 2010 dengan langit yang telah membiru. Keberhasilan Kitakyushu mengembalikan langit
biru dengan udara, sungai, laut, dan jalanan yang lebih bersih sehingga membuat
mahluk hidup yang tinggal di sana tumbuh sehat, membuat kota itu menjadi model
pembangunan kota ramah lingkungan di Jepang.
Tidak itu saja, Kitakyushu juga dinobatkan OECD
(Organization for Economic Co-operation and Development) sebagai salah satu
kota pintar (smart city) selain
Paris, Chicago, dan Stockholm.
Gerakkan kaum ibu
Bagaimana Kitakyushu bisa berubah dari kota yang
kotor oleh polusi asap pabrik, sungai dan laut yang terkontaminasi limbah
sehingga ikan pun tak sanggup hidup, berubah menjadi kota hijau yang ramah
lingkungan. Mungkin anda tidak menyangka, bahwa semua
berawal dari keprihatinan ibu-ibu di kota itu yang khawatir pada kesehatan dan
pertumbuhan anak-anak mereka. Ya, (keprihatinan) ibu-ibu telah
menggerakkan hati pengusaha, pemerintah, dan para profesor untuk berbuat
sesuatu," ujar Kitahashi.
Kala itu modernisasi dan pertumbuhan industri di
Kitakyushu memberi dampak negatif berupa polusi udara, debu, bising, serta
limbah di sungai dan laut.
Dampaknya, tidak hanya baju yang habis dicuci dan dijemur kotor kembali akibat pekatnya debu pabrik baja, tapi juga anak-anak mereka sering sakit asma sehingga biaya rumah tangga membengkak. Selain itu, kaum wanita yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga mulai khawatir terhadap pasokan makanan, khususnya ikan, karena sungai dan laut tercemar. Hal itu mendorong para ibu rumah tangga bergerak untuk melindungi keluarga mereka dengan membentuk asosiasi pada 1965. Mereka kemudian mengajukan petisi ke dewan kota dan industriawan agar mengatasi masalah pencemaran lingkungan yang sudah sangat parah waktu itu.
Mereka kemudian mendapat dukungan dari kalangan akademisi untuk menuntut pengembalian langit biru. Perjuangan ibu-ibu itu didokumentasikan dalam film "Aozora ga Hoshii" atau "We want our blue sky back". Perjuang kaum ibu tersebut tidak sia-sia, sepanjang 1972 sampai 1991, pemerintah dan swasta merogoh kocek hingga 804,3 miliar yen atau sekitar Rp80,43 triliun untuk memperbaiki lingkungan di kota itu. Sebagian besar atau sekitar 70 persen pengeluaran diambil dari kas pemerintah kota dan sisanya swasta.
Kota pintar
Kini Kitakyushu telah menjadi kota yang ramah
lingkungan, dengan langit yang biru dan udara yang bersih, serta terbebas dari
limbah industri berbahaya, meskipun industri besar, termasuk baja dan mobil,
tetap tumbuh di sana.
"Kami terus melakukan pengembangan menjadi
kota hijau dan pintar, dengan tingkat pelepasan karbon yang rendah untuk
seluruh aktivitas kota," kata Eksekutif Kepala Biro Lingkungan Kitakyushu
Matsuoka Toshikazu. Hal itu setidaknya terlihat dari desain bangunan
kantor walikota yang dinding depannya menggunakan solar panel untuk membantu
pasokan energi listrik di gedung itu.
"Tidak besar, hanya sekitar 0,1 sekian
persen dari kebutuhan listrik gedung ini," ujar Toshikazu sambil
memperlihatkan panel TV yang memantau pemanfaatan listrik dari solar panel di
gedung walikota, serta pelepasan karbonnya.
Tidak hanya di kantor walikota, pembangkit
listrik di kota itu juga telah menggunakan kombinasi energi yang ramah
lingkungan. Sejak lama Kitakyushu meninggalkan batu bara dan bahan bakar minyak
untuk pembangkit listrik. "Kami antara lain menggunakan LNG (untuk
pembangkit listrik), yang dulunya 100 persen dipasok dari Indonesia," ujar
Kepala Departemen Perencanaan Energi Nippon Steel & Sumitomo Metal, Hideki
Yamada.
Selain gas dan solar panel, Kitakyushu, yang
memiliki proyek percontohan masyarakat pintar dengan sistem energi mandiri di
wilayah Higashida, juga menggunakan energi angin untuk pembangkit listrik
dengan kapasitas 15 ribu kwh. "Kami memantau produksi dan pemanfaatan
energi listrik masyarakat setiap hari selama 24 jam," ujar Toshikazu.
Bila pada jam tertentu terjadi lonjakan penggunaan listrik, maka harga listrik akan dinaikkan, agar masyarakat didorong untuk berhemat, terutama pada jam sibuk pukul 13.00-17.00. Toshikazu mengatakan untuk mengatasi limbah pabrik dan rumah tangga, setiap pabrik memiliki proses pengolahan limbah sendiri sebelum dibuang ke sungai atau laut. Demikian pula dengan limbah rumah tangga, dikumpulkan dalam satu fasilitas pengolahan limbah yang dikelola swasta, baru dibuang dalam keadaan ramah lingkungan.
"Kota-kota di Indonesia bisa melihat kegagalan kami (mengatasi masalah lingkungan) sebelumnya, sehingga bisa lebih cepat mencapai sukses," kata Walikota Kitakyushu Kenji Kitahashi, yang sudah mulai bekerja sama dengan Medan, Surabaya, dan Balikpapan untuk mengembangkan kota pintar nan hijau.
Gambar Kota Batu
Ia yakin jika Kitakyushu bisa sukses menjadi
kota hijau dalam 40 tahun, maka kota di Indonesia bisa mencapainya dalam 10
tahun.
Semoga para generasi muda Indonesia,khususnya generasi muda Kota Batu mampu membangun Indonesia,khususnya Kota Batu menjadi Smart City seperti kota Kitakyushu
0 komentar:
Posting Komentar